Sulbarpos.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung RI menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan upaya mengganggu proses hukum perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Ketiganya adalah advokat Junaedi Saibih (JS), Marcela Santoso (MS), dan Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB). Penetapan ini diumumkan melalui siaran pers resmi bernomor PR – 331/037/K.3/Kph.3/04/2025.
Ketiganya diduga melakukan permufakatan jahat untuk menciptakan narasi pemberitaan yang bertujuan melemahkan konsentrasi penyidik dalam menangani perkara besar yang melibatkan tiga raksasa industri sawit: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Dalam rilis tersebut, Kejaksaan menyebut sejumlah konten berita yang ditayangkan oleh Jak TV digunakan sebagai alat bukti. Namun, sebagian besar dari konten tersebut kini sudah dihapus dan tak lagi bisa diakses publik.
Baca juga: IWO Kritik Penetapan Tian Bahtiar: Pers Dibungkam atas Nama Hukum
Langkah Kejaksaan itu mendapat sorotan tajam dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ). Mereka menilai bahwa penggunaan pasal obstruction of justice terhadap produk jurnalistik merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan bisa membuka jalan pada praktik kriminalisasi terhadap media dan jurnalis.
“Obstruction of justice hanya dapat dikenakan pada tindakan nyata yang secara langsung menghalangi proses hukum. Kritik publik atau pemberitaan media tidak bisa serta-merta dianggap sebagai bentuk perintangan,” tegas KKJ dalam pernyataan sikapnya. Rabu, (23/4/2025).
KKJ juga menyoroti diabaikannya mekanisme penyelesaian sengketa pers yang seharusnya dilakukan melalui Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan ditegaskan dalam Nota Kesepahaman antara Kejaksaan dan Dewan Pers pada 2019. Dalam MoU itu, aparat penegak hukum diwajibkan berkonsultasi dengan Dewan Pers sebelum menggunakan konten media sebagai alat bukti pidana.
“Konten yang dijadikan alat bukti seharusnya dibuka ke publik, dan dinilai oleh Dewan Pers agar jelas apakah ada pelanggaran etik atau sekadar kritik atas proses hukum,” lanjut KKJ.
Lebih jauh, KKJ menilai penggunaan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi secara serampangan berisiko menjadi pasal karet yang mengekang kebebasan berpendapat. Padahal, kebebasan berekspresi dijamin dalam UUD 1945 dan UU HAM.
Untuk itu, KKJ mendesak lima langkah konkret:
- Kejaksaan Agung diminta segera berkoordinasi dengan Dewan Pers terkait seluruh konten yang dijadikan alat bukti.
- Meninjau ulang penggunaan Pasal 21 UU Tipikor dalam kasus ini dan membuka substansi bukti kepada publik.
- Mendorong Dewan Pers melakukan audit etik terhadap jurnalis yang terlibat dan mengevaluasi karya-karyanya.
- Menyerukan proses hukum yang transparan, akuntabel, dan tidak melanggar kebebasan pers.
- Mengajak jurnalis dan media untuk tetap menjunjung tinggi profesionalisme, kode etik, dan menjaga independensi.
Komite Keselamatan Jurnalis, yang terdiri dari 11 organisasi pers dan masyarakat sipil, tetap mendukung pemberantasan korupsi. Namun, mereka mengingatkan bahwa upaya tersebut harus berjalan beriringan dengan penghormatan terhadap kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi sebagai pilar demokrasi.
Tentang KKJ:
Komite Keselamatan Jurnalis didirikan pada 5 April 2019 dan aktif mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis. Komite ini terdiri dari organisasi seperti AJI, IJTI, LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, AMSI, dan lainnya.
Kontak Media:
Erick Tanjung (Koordinator KKJ)
Nany Afrida (AJI Indonesia)
Wahyu Dhyatmika (AMSI)
Wahyu Triyogo (IJTI)
Nenden Sekar Arum (SAFEnet)
Hotline: 08111137820
(Tim)