Oleh: Irfan Atjo, SKM., M.Kes
Sulbarpos.com, OPINI – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program strategis nasional yang dirancang untuk menjawab persoalan gizi kronis, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta memutus mata rantai stunting dan malnutrisi pada anak usia sekolah.
Program ini pada prinsipnya tidak hanya berorientasi pada pemenuhan asupan makanan, tetapi juga pada jaminan
keamanan pangan, kebersihan lingkungan, serta kesehatan masyarakat secara menyeluruh.
Namun dalam implementasinya di berbagai daerah, termasuk di Provinsi Sulawesi Barat, terdapat persoalan mendasar yang berpotensi menggerus tujuan besar tersebut, yakni diabaikannya peran sanitarian atau tenaga kesehatan lingkungan.
Sulawesi Barat saat ini telah mengoperasikan 88 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dari target 189 SPPG. Angka ini menunjukkan progres yang patut diapresiasi dari sisi kuantitas.
Tetapi, di balik capaian tersebut, terdapat persoalan kualitas yang belum mendapat perhatian serius, khususnya terkait aspek sanitasi dan kesehatan lingkungan. Dalam pendekatan kesehatan masyarakat, pemenuhan gizi tidak dapat dilepaskan dari sanitasi dan kesehatan lingkungan.
Makanan bergizi tidak akan memberikan manfaat optimal apabila diproduksi, diolah, dan disajikan dalam lingkungan yang tidak higienis. Risiko penyakit seperti diare, keracunan pangan, infeksi saluran pencernaan, hingga infeksi cacing masih sangat terkait dengan buruknya sanitasi lingkungan dan pengelolaan pangan.
Oleh karena itu, kehadiran tenaga sanitarian menjadi elemen kunci dalam menjamin keberhasilan program gizi berskala besar seperti MBG. Sanitarian memiliki kompetensi memadai dalam
pengawasan kualitas air, pengelolaan limbah dapur atau makanan, higiene sanitasi pangan, hingga pengendalian faktor risiko lingkungan yang dapat memengaruhi kesehatan masyarakat.
Tanpa keterlibatan mereka, pelaksanaan MBG berpotensi mengabaikan prinsip dasar kesehatan lingkungan yang justru menjadi fondasi keberhasilan intervensi gizi.
Dalam Surat Keputusan Kepala Badan Gizi Nasional Republik Indonesia Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bantuan Pemerintah untuk Program
Makan Bergizi Gratis, secara eksplisit disebutkan adanya posisi Tenaga Pengawas Pemeliharaan dan Sanitasi.
Jika mencermati uraian tugas jabatan tersebut, jelas bahwa fungsi pengawasan sanitasi, pemeliharaan kebersihan lingkungan, keamanan pangan, serta
pengendalian risiko kesehatan lingkungan adalah tugas yang secara kompetensi seharusnya dilakukan oleh tenaga sanitarian dengan latar belakang pendidikan kesehatan lingkungan.
Tugas-tugas tersebut menuntut keahlian teknis, pemahaman regulasi kesehatan lingkungan, serta kemampuan melakukan penilaian dan intervensi berbasis risiko. Namun, pengakuan
normatif tersebut tidak serta-merta diikuti dengan implementasi yang konsisten di lapangan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir seluruh SPPG di Sulbar yang telah beroperasi belum difasilitasi oleh sanitarian dalam aspek pengawasan kualitas lingkungan dan sanitasi
pangan. Pengelolaan sanitasi kerap dilakukan secara administratif atau diserahkan kepada personel yang tidak memiliki latar belakang pendidikan dan kompetensi kesehatan lingkungan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius, tanpa pengawasan sanitasi oleh tenaga ahli, potensi masalah seperti kualitas air yang tidak layak, pengelolaan limbah yang buruk, kebersihan dapur yang tidak memenuhi standar, serta praktik higiene penjamah makanan yang tidak memadai menjadi sangat besar.
Risiko tersebut tidak hanya mengancam kesehatan penerima manfaat MBG, tetapi juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap program nasional ini.
Ironisnya, dalam SK Kepala BGN tersebut, jabatan Pengawas Pemeliharaan Sanitasi (Ahli Sanitasi) disebutkan dapat diisi oleh SPPI (Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia) yang bahkan belum mendapatkan penugasan yang jelas.
Kebijakan ini menimbulkan paradoks serius: di satu sisi negara mengakui pentingnya fungsi sanitasi, namun di sisi lain tidak memastikan bahwa fungsi tersebut dijalankan oleh tenaga yang memang memiliki kompetensi sanitasi.
Dalam konteks penguatan peran sanitarian di Sulawesi Barat, HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan) Provinsi Sulawesi Barat memiliki posisi strategis sebagai organisasi profesi yang
dapat menjadi mitra pemerintah daerah dan Badan Gizi Nasional.
HAKLI Sulbar dapat berperan aktif dalam melakukan advokasi kebijakan agar pelaksanaan MBG lebih memperhatikan aspek sanitasi dan kesehatan lingkungan, menyediakan tenaga sanitarian yang kompeten, serta
mendukung peningkatan kapasitas melalui pelatihan, sertifikasi, dan pendampingan teknis bagi pengawas sanitasi.
Program MBG adalah investasi besar negara dalam membangun generasi sehat dan berkualitas. Namun investasi ini akan kehilangan maknanya jika aspek kesehatan lingkungan diabaikan.
Kasus Sulawesi Barat menunjukkan bahwa keberhasilan program tidak cukup diukur dari jumlah SPPG yang beroperasi, tetapi dari sejauh mana program tersebut benar-benar melindungi kesehatan masyarakat. Kasus KLB Keracunan Makanan pada SPPG Tapalang dan Kalukku cukup menjadi bukti tentang pentingnya peran sanitasi dalam proses pengelolaan pangan.
Mengabaikan peran sanitarian sama artinya dengan mengabaikan fondasi kesehatan lingkungan. Jika MBG ingin benar-benar menjadi program kesehatan, maka sanitarian harus ditempatkan bukan di pinggir, melainkan di jantung pelaksanaannya. (*)
(Penulis adalah Sekretaris HAKLI Sulbar)




