Shared Berita

Sulbarpos.com, Mamuju – Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Barat yang positif diiringi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, menimbulkan kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat. Jika pendapatan masyarakat tidak bertambah, daya beli mereka bisa melemah, yang berisiko mendorong mereka ke dalam garis kemiskinan ekstrem. Situasi ini menjadi salah satu alasan mengapa Sulawesi Barat masih berada di posisi tertinggi dalam kategori kemiskinan ekstrem secara nasional.

Jeffriansyah DSA, S.E, M.Adm. Pemb., seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Mamuju, menjelaskan bahwa tingginya kemiskinan ekstrem di Sulawesi Barat dibandingkan dengan standar nasional dipengaruhi oleh inflasi, terutama pada harga kebutuhan pokok. Meskipun inflasi di Sulawesi Barat relatif terkendali dibandingkan dengan daerah lain, kenaikan harga tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan masyarakat.

“Inflasi paling berpengaruh pada harga beras, terutama saat Lebaran di awal tahun ini,” kata Jefri.

Menurutnya, data Maret 2024 menunjukkan bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok yang terjadi selama puasa dan Lebaran berdampak signifikan pada daya beli masyarakat.

Meskipun ekonomi Sulawesi Barat tumbuh, peningkatan inflasi pada kebutuhan pokok seperti pangan, transportasi, dan perumahan menyebabkan daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah, menurun. Akibatnya, meski secara statistik ekonomi terlihat tumbuh, banyak warga yang jatuh ke dalam kemiskinan.

Selain inflasi, tingkat pengangguran juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi Barat pada Februari 2024 mengalami penurunan 0,65 persen year-on-year. Namun, jika dibandingkan dengan Agustus 2023, TPT mengalami kenaikan dari 2,27 persen menjadi 3,02 persen pada Februari 2024.

“Masyarakat Sulawesi Barat banyak yang bekerja, namun penghasilannya belum memadai. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita di Sulbar masih di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP),” ungkap Jefri.

Baca Juga  Bawaslu Mamuju Didesak Usut Postingan Gambar di Facebook yang Berpotensi Ciptakan Konflik Sosial

Lebih lanjut, daya beli masyarakat juga dapat diukur melalui Nilai Tukar Nelayan (NTN), yang menunjukkan kemampuan nelayan dalam menukar hasil tangkapan ikan dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk produksi maupun konsumsi rumah tangga. Jefri menyebutkan bahwa dalam enam bulan terakhir, NTN Sulbar masih di bawah 100, yang berarti pendapatan nelayan belum mencukupi kebutuhan konsumsi rumah tangga, khususnya saat terjadi inflasi pada bulan Maret 2024.

Menanggapi langkah-langkah yang diambil oleh Pemda, Jefriansyah menyoroti program PJ Gubernur Sulawesi Barat, Bahtiar Baharuddin, yang selama tiga bulan terakhir telah fokus pada sektor pertanian, perkebunan, kelautan, perikanan, dan peternakan. Program ini dianggap sesuai dengan karakteristik Sulbar, yang mana sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 44,59 persen dari total PDRB.

Namun, Jefri mengingatkan bahwa perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap pengembangan sektor perkebunan dan pertanian, seperti rencana pengembangan pisang Cavendish oleh PJ Bahtiar. Menurutnya, ekosistem yang jelas diperlukan untuk memastikan keberhasilan program tersebut, termasuk proses pemeliharaan, pengolahan produk, dan strategi pemasaran.

Jefri juga menekankan pentingnya intervensi pemerintah dalam menstabilkan harga produk pertanian dan nelayan, yang sering kali dipermainkan oleh pembeli besar.

“Jika pak Pj ingin memusatkan APBD 2025, harus dicari solusi untuk menetapkan atau menstabilkan harga produk petani dan nelayan, misalnya melalui pelatihan pengolahan hasil untuk memberikan nilai tambah pada produk dan menyiapkan pasarnya,” tandas Jefri. Jumat, (30/8/2024)

Iklan