Shared Berita

Oleh : Yusnul Arrifat Yusuf

Sulbarpos.com — Kematian bagian penting dan fakta dalam hidup ini. Setiap manusia melewati masa, hidup dan mati pada kehidupan ini. Namun hal yang Fakta ini memahaminya terkadang keliru atas kehidupan ini.

Sehingga, salah ataupun keliru dalam memahami akan berimplikasi pada hadirnya ruang ketakutan pada jiwa kita. Bahwa ketakutan pada jiwa adalah eksistensial, namun hadirnya, terkadang esensial karena salah menanggapi atau memahami kematian.

Ketakutan yang eksistensial pada jiwa berkaitan pada eksistensial Tuhan. Karena setiap harapan jiwa manusia bersandar padanya dalam bentuk tawakkal.

Namun fakta kematian pada manusia terkadang menggeser tujuannya dihadirkan rasa takut itu pada jiwa manusia. Sehingga manusia tidak berjalan pada poros fitrahnya.

Sehingga terjadi penyimpang sosial, seperti korupsi, pembunuhan, dan kasus sosial, nepotisme dan kolusi. Dasar ini sebenarnya mereka tidak mengerti arti kematian. Seolah kehidupan manusia setelah dunia ini, tidak ada lagi kehidupan. Maka perbuatan mereka lari dari arti kematian pada kehidupan keduniawian.

Dari segi lain, ketidakjelasan arti kematian membuat seseorang terhambat dalam menyuarakan haknya, dan memenuhi tanggungjawab. Sehingga ketika mereka melakukan apa yang sebenarnya adalah miliknya, mereka takut akan konsekuensi yang ada dihadapnya, yakni kematian.

Bisa jadi diamnya kita dalam memandang kedzaliman, pemberantasan dan kekejaman yang ada dihadapan kita karena takut akan konsekuensi yg kita hadapi. Olehnya kita tidak bersikap yang seharusnya dari pada yang sebenarnya pada kehidupan ini.

Karena sumber sikap tersebut, karena takut pada kematian. Sehingga setiap wajah perlawanan akan kita wujudkan, kita terhambat pada diri kita yang takut akan kematian dalam menyuarakannya.

Dengan nya kita bertanya sebenarnya kematian itu apa? Pada pertanyaan ini, muthhahari dalam jejak rohani memberikan gambaran kematian ini pada manusia manusia ilahi.

Baca Juga  Moderasi Agama Vs Modernisasi Agama

Kita bicara ini pada konteks dan konseptual rohani. Bukan kenekatan, yang digambarkan terorisme yang bejat dan brengsek.

Kematian dalam jiwa rohani suatu penegasan tentang ke-Esahan dan utusan kerasulan muhammad SAW. Tentang kabar kematian dipandang sebagai perpindahan alam, dari dunia dan akhirat. Artinya kematian seseorang dipandang mereka berpindah alam. Seperti seseorang berangkat dari satu kota menuju kota yang lain.

Hal yang menarik dari kematian ini, kaitannya dengan penegasan ke-Esahan dan utusan kerasulan. Karena pada dasar ini, kematian memiliki nilai transformasi sosial yang signifikan. Karena manusia-manusia ilahi inilah yang memiliki ketakutan yang eksistensial, yakni hanya allah SWT.

Maka setiap ketimpangan sosial mereka hadapi dengan gagah berani. Karena setiap resiko yang ada dihadapnya, seperti kematian, di jiwa mereka nantikan jauh-jauh hari.

Islam dengan ajaran amar ma’ruf nahi mungkar akan progres dalam kehidupan sosial. Namun sekarang ini, Orang-orang alim kita nampaknya amat terhambat dalam setiap peristiwa sosial.

Ada apa atas peristiwa ini? Karena koneksi atas ke-Esahan allah SWT dan kerasulan muhammad SAW tidak memiliki koneksi progresif pada kematian sbg yang dinantikan, adalah perjumpaan.

Sehingga orang-orang alim kita yang dikategorikan saleh dalam ilmu namun tidak saleh dalam sosial. Begitu banyak ketakutan mereka akan kehidupan ini, harta, istri cantik mereka dan kekayaan mereka dan wibawa keulamaan mereka lebih dijaga daripada berpihak pada kaum-kaum lemah (duafa).

Karena ketika mereka membela, mereka kehilangan predikat dunia. Karena akhirnya mereka betul-betul berjuang yang berisiko meninggalkan dunia, kematian.

Manusia-manusia ilahi ini menghubungkan antara kematian, dan ke-Esahan dan perintah atas kerasulan. Bahwa kematian sbg perpindahan alam sekaligus ajang yang dinantikan berjumpa kepada allah SWT melalui jalan kerasulan muhammad SAW dalam membela kaum-kaum yang dilemahkan (duafa).

Baca Juga  Prof Zudan Ketum Korpri Ingatkan Para Dosen PNS Juga Bisa Diberi Sanksi Disiplin Oleh Menteri

Sehingga bisa kita bayangan bagaimana kehidupan muhammad SAW berada pada masyarakat yang paling bawah membela setiap hak. Demikian imam Ali kw dalam kehidupannya berpihak atas masyarakat yang dilemahkan (duafa). Abu dzar yang menyuarakan hak yang menyimpang dalam kekuasaan.

Namun sekarang ini, ulama kita sebagian nya, kealiman sosialnya, mereka kehilangan Orietansi sosial perjumpaan kepada allah SWT dan Rasulullah SAW melalui kematian.

Tak heran kita, ulama kita tempatnya di bangku Kuasa, menggunakan mobil Alphard, baju yang harum dan kehidupan yang layak (pribadi). Namun dimana mereka, saat rumah-rumah yang dirampas? Anak-anak yang kelaparan? Ibu yang tidak memiliki kehidupan atas perampasan ruang hidup?

Ke-Esahan dan perintah kerasulan, ujiannya pada menuju pada kematian. Apa relevansi kematian adalah pembelaan secara terbuka atas orang-orang yang dilemahkan. Dan orang-orang beriman atau Mukmin dimintai pertanggungjawaban atas perkara ini. Mereka diminta menyerukan amar makruf nahil mungkar pada realitas pembelaaan kaum-kaum yang dilemahkan.

Ulama-ulama yang kita nantikan pada pendekatan rohani, mereka yang menggunakan pakaian yang membela rakyat dengan hidup bersama mereka dan Berbahasa sama dengan mereka. Pakaian bahkan lebih kusut daripada yang dibelanya.

Sebab mereka kita pandangan mereka hanya takut kepada allah SWT dan mengikuti perintah Rasul-Nya pada Rohani nya. Semestinya setiap perkara sosial yang demikian ini, kita menemukan ulama-ulama yang berkecimpung didalamnya.

Ulama-ulama yang kita maksud yang membawa kesalehan teoritis menuju kesalehan sosial (pembelaan).
Dan baginya kematian adalah yang mereka nantikan, karena mereka yang memahami ke-Esahan dan perintah Rasulullah SAW, apa yang mereka dapatkan pada alam akhirat atas perjuangan pada dunia ini.

Maka realitas sosial pada kematian dalam pandangan Manusia-manusia ilahi, memiliki kekuatan sosial yang progresif dalam pembelaan. Karena memiliki bekal yang kokoh dan mapan ditengah masyarakat kita.

 

Baca Juga  Kunjungan ke UGM, Sekprov Muhammad Idris: Pembudayaan SPBE Harus Kita Capai

 

Penulis adalah Pemantik di Jaringan Aktivis Filsafat (Jakfi) Yogyakarta

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan