Shared Berita

Oleh : Muslimin M

Sulbarpos.com — Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan oleh salah satu rencana kebijakan menteri Pendidikan, kebudayaan dan ristek tentang konsep marketplace guru, pro-kontra ditengah masyarakat tidak terhindarkan dan tentu saja ini memantik kegelisahan dan was was sembari bertanya dalam hati.

Apakah guru yang notabene profesi yang sangat mulia sudah seperti barang dagangan?, tentu saja pertanyaan ini sah sah saja bagi sebagian masyarakat yang belum memahami maksud dan tujuan rencana kebijakan itu.

Lalu, apa sebetulnya marketplace guru itu ? pengertian Marketplace Guru
Berdasarkan pernyataan Menteri Nadiem dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Mendikbud bahwa marketplace guru adalah wadah di mana semua guru yang boleh mengajar masuk ke dalam satu database yang dapat diakses semua sekolah.

Melalui wadah ini, setiap sekolah dapat mencari guru yang dibutuhkan dengan mudah, sehingga bisa menyelesaikan masalah perekrutan.

Solusi atau Masalah ?

Menurut Menteri Nadiem, ada tiga masalah yang terselesaikan dengan adanya marketplace guru ini, yaitu : pertama, kebutuhan guru secara realtime sehingga tidak perlu menunggu rekrutmen terpusat yang membutuhkan waktu lama.

Kedua, perekrutan kini bisa dilakukan sesuai kebutuhan karena selama ini masih ada siklus yang tidak sinkron antara sekolah dan pemerintah pusat. Ketiga adalah selama ini pemerintah daerah tidak mengajukan formasi ASN yang sesuai dengan kebutuhan.

Namun, benarkah program tersebut mampu mengatasi problem mendasar terkait ketidakmerataan guru? Lalu, seperti apa konsep ini agar bisa diterima oleh semua pihak dan tidak ada yang dirugikan ?

Menteri Nadiem mengklaim bahwa Marketplace Guru sebagai upaya untuk mengatasi masalah tenaga guru honorer yang terjadi selama bertahun-tahun. Ia akui rencana tersebut telah dibahas bersama tiga kementerian lain, di antaranya Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi, dan Kementerian Dalam Negeri.

Baca Juga  Cuan Getah Pinus dan Hutan Lindung

Bahkan, rencana ini telah disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI dan rencananya program ini akan rilis pada 2024.

Dijelaskan oleh Menteri Nadiem bahwa Marketplace Guru merupakan basis data dengan dukungan teknologi agar calon guru bisa diakses oleh semua sekolah. Platform ini disebut sebagai media atau wadah perekrutan guru, di mana pihak sekolah bisa mencari siapa saja yang dapat menjadi guru dan mengundangnya sesuai kebutuhan sekolah yang dikutip dari Liputan6.com (3/6).

Tak ayal, program baru yang disampaikan Nadiem menuai kritik dari Pengamat Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS), Triyanto. Ia menyampaikan penggunaan diksi “marketplace” dinilai menurunkan marwah guru sebagai pendidik dan membuat kedudukan guru semakin tidak terhormat.

Padahal, guru merupakan profesi yang mulia sehingga tidak tepat jika guru ditempatkan layaknya barang dagangan.
Ia pun menegaskan bahwa Marketplace Guru tidak sepenuhnya mampu menangani persoalan guru, mengingat begitu kompleksitasnya persoalan tersebut yang dihadapi bangsa ini.

Ada beberapa persoalan guru yang harus diselesaikan. Pertama, perlu ditingkatkan kualitas calon guru, sebab tak dimungkiri kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas guru.

Kedua, tidak meratanya distribusi guru. Banyak sekolah mengeluh kekurangan guru, tetapi di sisi lain lulusan PPPK dan PPG justru kesulitan mendapatkan penempatan. Hal ini, menimbulkan pertanyaan besar, apakah pemerintah tidak mempunyai anggaran yang cukup untuk membiayai hal tersebut?
Ketiga, adanya keterbatasan dana baik di sekolah negeri maupun swasta jika program Marketplace Guru dijalankan.

Sekolah harus mampu membayar guru secara layak jika guru dipajang di marketplace. Namun, nyatanya tidak semua sekolah mampu untuk sampai pada tahap tersebut.

Tidak menyelesaikan persoalan mendasar Program Marketplace Guru sejatinya tidak mampu menyelesaikan persoalan mendasar terkait ketidakmerataan penyebaran tenaga pendidik dan ketimpangan nasib guru honorer. Alih-alih menyelesaikan masalah, platform ini berpeluang memperkeruh persoalan, mengapa?

Baca Juga  Peran Strategis Kader HMI dalam Meningkatkan Kualitas Jurnalistik di Era Digital

Pertama, jika sekolah diberikan wewenang dalam perekrutan ASN, maka sangat berpeluang terjadinya nepotisme dan menyuburkan transaksi “sogok-menyogok”. Sebab, sekolah dengan kewenangannya bisa leluasa memilih guru yang dikehendaki baik melalui jalur kekerabatan ataupun menentukan bayaran lebih bagi siapa saja yang mampu.

Kedua, persoalan penyebaran guru tidak mampu diselesaikan dengan platform Marketplace Guru. Tersebab, tenaga pendidik honorer tentu tidak mau mendaftar ke sekolah-sekolah di pelosok desa karena tidak adanya jaminan kesejahteraan juga fasilitas sekolah jauh berbeda dengan di kota.

Pada akhirnya, sekolah-sekolah dengan fasilitas terbaiklah yang akan mampu merekrut tenaga pendidik berkualitas. Sebaliknya, sekolah yang memiliki keterbatasan baik dari sisi dana, fasilitas, serta jauh dari perkotaan harus siap menerima apa adanya.

Ini artinya, Marketplace Guru justru makin mewujudkan kesenjangan antar sekolah. Ketiga, teralihkannya spesifikasi dan kompetensi guru hanya pada prestasi-prestasi akademik seperti penelitian dan semacamnya, bukan pada kualitas pengajaran. Padahal, yang dibutuhkan pelajar adalah transfer ilmu dengan baik kepada mereka. Kondisi ini, bukankah bisa mengancam kualitas generasi?

Dari konsep marketplace guru yang disampaikan oleh menteri Nadiem, ternyata memantik pro kontra ditengah publik saat ini, bahkan masyarakat kampus, akademisi, pemerhati pendidikan tidak sedikit membeberkan kondisi ril permasalahan pendidikan saat ini yang justru tidak akan terselesaikan dengan konsep marketplace tersebut.

Konsep Marketplace dari menteri Nadiem sejatinya dapat memberi solusi dari sederet permasalahan pendidikan saat ini terutama permasalahan guru yang dari dulu sampai saat ini masih belum terselesaikan dengan baik.

Bahwa kemudian konsep marketplace ini ternyata belum sepenuhnya mendapat penerimaan yang baik bagi sebagian masyarakat tentu saja hal yang lumrah sebagai bagian dari dinamika yang tak terhindarkan, yang terpenting bagi kita masyarakat bahwa apapun itu konsep dan caranya sepanjang positif dan tidak melanggar konstitusi dan tujuannya untuk perbaikan kualitas pendidikan, maka tentu pula tidak ada alasan untuk menolaknya sebab tujuannya baik dan benar.

Baca Juga  Mengapa Politisi Susah Menepati Janjinya ?

Artinya bahwa dinamika masyarakat terhadap suatu kebijakan adalah bagian dari kontrol sosial masyarakat yang perlu diapresiasi sebab masyarakatlah sejatinya pemilik nilai manfaat itu.

 

(Penulis adalah Pemerhati Pendidikan)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan



Open chat
Hello 👋
ada yang bisa kami bantu ??