Shared Berita

 

Oleh : Farham Rahmat

Sulbarpos.com, OPINI – Masyarakat selalu mempertanyakan janji manis dari seorang politisi. Dengan program yang bersifat humanis, manfaat berusaha dibingkai dalam citra dan tanda. Mengapa janji itu menghilang seketika? Apakah ada yang salah? Padahal semua manusia memiliki hasrat humanis dalam jiwa. Berlaku baik dan membuat orang lain bahagia adalah fitrah dari Tuhan yang Maha Baik. Namun, banyak janji yang menghilang hanya dalam bentuk celotehan dan kosong dari makna realitas.

Ada kesulitan tersendiri yang dialami oleh politisi dalam merealisasikan janji manis itu. Sekarang mari kita mengkaji hal ini melalui pendekatan Transpolitika. Mengapa demikian bisa terjadi? Karl Marx memulai ideologi politiknya dengan dua kekuatan. Pertama adalah superstruktur, yaitu pada tataran ide, konsep, gagasan, keyakinan, bentuk kesadaran, world view, dan cara berpikir yang mengorganisir masyarakat. Kedua adalah tataran dasar, seperti eksistensi real manusia dan material produktivitas. Sayangnya, Marx lalai pada dunia tanda yang bisa menjadi jembatan antara superstruktur dan tataran dasar.

Ada tiga tataran dalam dunia politik yang secara bersamaan membangun politik pada era informasi saat ini. Pertama, Tataran Ideologi. Dalam dunia informasi, tataran ideologi sudah terlepas dari dunia material dan produksi dan menjadi abstrak. Namun, inilah puncak superstruktur dari ideologi politik Marx. Kedua, Tataran Tanda, yaitu pengemasan ide dan gagasan dalam bentuk tanda dan citra politik. Dalam dunia milenial dan virtual saat ini, peranan tanda sangat urgen karena mampu membahasakan ide dalam media komunikasi. Terkadang tanda juga bisa menciptakan ide dan gagasan baru melalui opini publik. Ketiga, Tataran Realitas, yaitu dunia tempat berlangsungnya berbagai aktivitas politik dan ekonomi. Dalam bahasa Marx, ini disebut relasi produksi, yang menentukan ide dan gagasan.

Baca Juga  Pendekatan Kultural dalam Pemilihan Bupati: Membangun Kepercayaan dan Keterlibatan Masyarakat Polman Oleh: Muh. Sukri, Akademisi

Ideologi hanya sampai pada tataran tanda. Kapitalisme digital mengklaim bahwa dunia ideologi dan realitas dapat terpisah, sehingga permainan ide dan gagasan dimulai dari tataran tanda. Oleh karena itu, ideologi memiliki hambatan untuk menjadi realitas. Dunia informasi saat ini bermain pada ranah tanda, menciptakan citra politik yang bebas nilai dan bebas makna. Permainan tanda seperti ini juga mencerminkan realitas politik. Sebagai contoh, ketika media dikuasai oleh politik tertentu, maka politik tersebut dapat dengan leluasa mempermainkan tanda dan citra di dalamnya.

Apa yang nampak hari ini (realitas politik, ekonomi, sosial) hanya refleksi dari tanda dan citra yang murni, yaitu hanya bungkusan ide, gagasan, dan janji-janji politik belaka, dan tidak menembus dunia realitas. Anehnya, setiap kali tanda dan citra akan menembus realitas, mereka selalu berbalik arah dan memantul kembali ke simbiosis citra. Akhirnya, ide-ide tersebut tidak pernah berwujud dalam realitas. Contohnya adalah ide tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, kenyataannya masih banyak sistem sosial dan ekonomi yang hanya untuk para pemodal besar. Ketidakmampuan ide berbentuk realitas disebabkan adanya zona otonom semiotika (tanda) yang hilang kontak dengan dunia realitas.

Jacques Derrida berbicara tentang tanda dan dunia teks ketika dilepaskan dari nilai metafisika yang menjadi pusat teks seperti esensi, substansi, eksistensi, humanitas, transcendental, dan ketuhanan. Semua ini adalah penentu akhir dari makna dan kebenaran. Tanda yang terlepas dari pusat ini memungkinkan penafsiran yang bebas nilai. Pada akhirnya, dunia kebenaran diambil alih oleh bebas nilai, metafisika diambil alih oleh tekstualitas.

Bruce Newman menggambarkan dunia politik abad informasi sebagai dunia politik yang mempermainkan tanda untuk pemasaran diri, dan mengambil alih perhatian masyarakat dengan penciptaan citra demi kepentingan dirinya semata. Banyak politisi seperti ini, termasuk presiden Amerika yang ahli dalam pencitraan diri, seperti produksi foto dengan simbol nasionalisme dan patriotisme, serta gambar bendera, Garuda Pancasila, hingga tokoh seperti Presiden Soekarno.

Baca Juga  Pentingnya Toleransi Agama Menjelang Pemilihan Presiden

Semua ini hanyalah bertujuan untuk memikat hati rakyat, bukan untuk merealisasikan ideologi dan gagasan. Semua tanda dan pencitraan tersebut sama sekali tidak menggambarkan realitas ideologi. Pada era virtual informasi saat ini, momen kebenaran politik telah almarhum, digantikan dengan momen permainan bebas. Itulah mengapa politisi mengalami kesulitan untuk membuktikan janji manis mereka.(*)

Iklan