Shared Berita

Oleh : Alan Nuari

Sulbarpos.com — Agama tidak membutuhkan institusi sebagai jembatan Keledai ditengah disrupsi keberagaman sebab corak ide masyarakat belum sepenuhnya tercabut dari akar budayanya yang dimana akulturasi ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) sangat mempengaruhi cara setiap orang beragama.

Berbeda cara orang beragama antara yang mampu mengakses keadilan di bidang ekonomi dan yang tidak mampu mengakses keadilan di bidang ekonomi. Bagi yang mampu mengakses keadilan di
bidang ekonomi akan lebih banyak bersyukur. Sedangkan bagi yang tidak mampu mengakses keadilan ekonomi akan lebih banyak bermunajat pada tuhan dan menggantungkan hidupnya pada kebaikan manusia.

Berbeda cara orang beragama antara yang mampu mengakses keadilan sosial dan yang tidak mampu mengakses keadilan sosial. Bagi yang mampu mengakses keadilan sosial dipastikan khusyuk dalam beriman. Sedangkan bagi yang tidak mampu mengakses keadilan sosial berpeluang besar meninggalkan agama karena seumur hidupnya tidak merasakan kebesaran tuhannya.

Berbeda cara orang beragama antara yang mampu mengakses keadilan dalam berbudaya dan yang tidak mampu mengakses keadilan dalam berbudaya. Bagi yang mampu mengakses keadilan dalam berbudaya akan merasa sangat akrab dengan tuhannya. Sedangkan bagi yang tidak mampu mengakses keadilan dalam berbudaya akan merasa tuhan bersemayam dibalik jubah kebesaran para pemukanya.

Manakah yang benar saat ini apakah moderasi agama ataukah modernisasi
agama? Moderasi agama yang artinya agama termoderasi seolah-olah mengakui agama menggunakan kekerasan dan keekstreman oleh karenanya patut dihindari. Sedangkan modernisasi agama yang artinya agama mampu mengadopsi dan mengadaptasikan nilai-nilai perkembangan zaman dalam kehidupannya sehari-hari.

Moderasi agama sama sekali tidak penting dalam mengatur kehidupan masyarakat dunia saat ini yang ditopang langsung oleh kemajuan teknologi informasi. Modernisasi agama sangatlah penting bagi masyarakat dunia yang individualistis untuk menembus
tembok spiritual dan tiba pada visualisasi (mode rahasia) untuk mengenali semua genus biologi ciptaan tuhannya. Narasi agama sangatlah penting sebagai wacana dan juga opini publik.

Agama memiliki peran secara teoritis dan juga praktis dalam memimpin dan membimbing umat manusia menghindari irelevansi dibalik perkembangan teknologi informasi yang berdampak langsung pada pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Pada intinya moderasi beragama memiliki tujuan deradikalisasi agama. Disinilah letak kekeliruan berpikir yang menganggap radikalisasi agama sebagai bahaya laten.

Bahkan jauh sebelum politik menggunakan agama sebagai identitas (politik identitas) pada dasarnya agama telah mengenal politik jauh sebelum ilmu politik dan sistem politik itu diterjemahkan dalam wawasan berbangsa dan bernegara. Sejarah agama membuktikan bahwasanya agama merupakan salah satu instrumen politik yang melahirkan nilai-nilai (mengajarkan hukum tuhan) bagi penganut maupun pengikutnya.

Baca Juga  Toleransi Dalam Penyelenggaraan Pemilu

Dari keterangan sebelumnya bisa dimaknai bahwa agama bukanlah politik identitas melainkan identitas politik bagi penganut maupun pengikutnya. Radikalisasi agama sudah ada sejak dulu. Terbukti agama berhasil bertransformasi mengikuti perkembangan zaman dengan prinsip kebebasan (liberte), kesetaraan (egalite), dan persaudaraan (fraternite) dalam mereformasi gereja ala Lutheran.

Reformasi gereja disimpulkan sebagai trisola yang terdiri dari sola fide (hanya keyakinan), sola gratia (hanya anugerah), dan sola scriptura (hanya kitab) yang mengkritik malpraktek “indulgentia” sebagai sakramen tobat. Protestan ialah bukti agama sama sekali tidak tercabut dari akarnya, melainkan agama tetap pada akarnya sekalipun berulangkali diterpa oleh arus mainstream.

Saat ini agama disusupi oleh liberalisme yang menuduh agama itu ekstrem,
radikal, intoleran, dan eksklusif. Padahal pantas ketika agama itu ekstrem versi
fanatisme bagi penganutnya. Padahal pantas ketika agama itu radikal—secara
mendasar—bukti kepatuhan terhadap kepatutan ajarannya. Padahal wajar ketika agama itu intoleran terhadap liberalisme dalam bentuk nilai dan terapannya yang kemungkinan merusak agama.

Baca Juga  Taufik Rama Wijaya : Mamasa Darurat Moneter, Penegak Hukum Lemah !!!

Padahal wajar ketika agama ekslusif yang membedakan antara satu agama dengan agama lainnya. Banyak golongan-golongan agama yang katanya mengajarkan cinta kasih, namun pada prakteknya tetap saja memungut upeti. Sebab intoleran terhadap agama intoleran artinya sama saja intoleran. Label kekerasan yang terdapat pada agama diberikan oleh negara. Negara telah mendistorsi sekaligus mendiskreditkan agama seolah-olah agama ialah simbol kekerasan.

Padahal seringkali negara menggunakan agama sebagai instrumen politiknya demi melanggengkan kekuasaan. Diskresi secara sepihak yang dilakukan oleh negara memoderasi agama adalah bentuk pembungkaman. Zaman (dewasa) ini sama sekali tidak dewasa. Dewasa ini dalam perkembangan sistem digitalisasi (teknologi informasi) manusia tidak lagi eksis karena
dibatasi oleh dinding-dinding virtual yang memanipulasi kesadaran dan kenyataan manusia.

Teknologi informasi berbasis Artificial Intelligence (AI) dan algoritma menurut
Yuval Noah Harari telah mengantarkan manusia pada zaman irelevansi yang sarat akan bebas nilai. Dengan kata lain manusia saat ini diperhadapkan dengan ambiguitas yang akibatnya sangat fatal ketika kesimpulannya bersifat anomali.

Pentingnya agama menjadi nilai standar dalam hukum tidak tertulis (the standard of value in unwritten law) yang merupakan kewajiban bagi pengikutnya ketika mengikuti perubahan atau perkembangan zaman. Agama yang radikal penting guna menembus dinding-dinding virtual agar sekiranya mampu menjadi batas pemisah (demarkasi) antara baik dengan tidak baik dan antara benar dengan tidak benar yang peruntukannya khusus bagi umatnya.

Dinding-dinding virtual tadi bisa digunakan sebagai media propaganda bagi agama untuk melakukan radikalisasi pada umatnya.
Pentingnya kesadaran umat untuk membedakan antara moderasi agama dan modernisasi agama, juga mampu membedakan antara agama moderat dan agama modern, sebab sejatinya agama tidak mengajarkan kekerasan melainkan
perdamaian, sebab sejatinya agama tidak mengingkari perkembangan zaman melainkan mengikuti perkembangan zaman.

Pada zaman revolusi industri 5.0 menuju seperempat abad 22 ditandai dengan
bergesernya tenaga mesin secara manual (menggunakan tenaga manusia) menjadi tenaga robotika secara otamatisasi (tanpa menggunakan tenaga manusia). Saat ini pikiran manusia dilampaui oleh AI dan pilihannya ditentukan oleh algoritma. Menjadi salah satu alasan pentingnya modernisasi agama yang artinya kecakapan dan kemampuan agama mengikuti secara berimbang perkembangan zaman.

Baca Juga  Bahasa dan Teknologi Merajalela di Era Industri 4.0.

Jangan lupakan peran penting media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari. Facebook, Instagram, dan Twitter bisa menjadi media propaganda bagi agama modern dalam meradikalisasi agama guna pentingnya agama sebagai nilai standar dan hukum tidak tertulis (the standard of value in unwritten law).

Pentingnya agama mengisi kekosongan virtual sama pentingnya seperti “Homo Deus” penulis penjualan terbaik (best seller) “Sapiens” karya Yuval Noah Harari yang mengisi kekosongan pustaka.

Jangan harap tulisan ini memiliki penutup kesimpulan. Sebab kesimpulan ada pada pembaca, penulis tidak butuh saran dari pembaca. Sebab saran terbaik ada pada agamanya bumi manusia. Tulisan ini tanpa daftar pustaka.

Sebab daya ingat penanda manusia memiliki otak, lebih dan kurangnya jangan dimaafkan karena tuhan sudah cukup mewakili pembaca sebagai maha pengasih lagi maha penyayang yang sudah pasti maha pemaaf.

“Penulis adalah seorang Atheis yang percaya dengan gaya fisika, partikel kimia, dan struktur biologi sebagai kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia untuk meragukan tuhan dan agamanya. Tetapi penulis percaya sebaik-baiknya agama ialah mengikuti perkembangan zaman karena tuhan yang berkehendak atas kehendak bebas milik manusia,” bukti Atheis mempercayai tuhan dan agamanya—pen.

 

 

 

(Edisi: Sarkastis pada Istilah Moderasi dan Moderat)

Iklan