Oleh: Abd Rahman
Sulbarpos.com — Menurut WHO (2015), stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar.
Selanjutnya menurut WHO (2020) stunting adalah pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang / tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO yang terjadi dikarenakan kondisi irreversibel akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang / kronis yang terjadi dalam 1000 HPK.
1. Dampak kesehatan :
a. Gagal tumbuh (berat lahir rendah, kecil, pendek, kurus), hambatan perkembangan kognitif dan motoric.
b. Gangguan metabolik pada saat dewasa → risiko penyakit tidak menular (diabetes, obesitas, stroke, penyakit jantung, dan lain sebagainya).
2. Dampak ekonomi :
Berpotensi menimbulkan kerugian setiap tahunnya : 2-3 % GDP.
Ada beberapa faktor yang mendasari terjadinya stunting, antara lain yaitu :
Asupan kalori yang tidak adekuat.
– Faktor sosio-ekonomi (kemiskinan).
– Pendidikan dan pengetahuan yang ; rendah mengenai praktik pemberian makan untuk bayi dan batita (kecukupan ASI).
Sulawesi Barat merupakan provinsi dengan prevalensi balita stunting tertinggi kedua di Indonesia pada 2022. Menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting di provinsi ini sebesar 35% pada tahun lalu.
Prevalensi balita stunting Sulawesi Barat tercatat naik 1,2 poin dari tahun sebelumnya. Pada 2021, prevalensi balita stunting di provinsi ini sebesar 33,8%.
Selain peringkat kedua nasional, angka stunting di Sulawesi Barat berada di bawah ambang batas yang ditetapkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%.
Ini mengindikasikan bahwa penanganan stunting di Sulawesi Barat masih buruk. Berdasarkan wilayahnya, terdapat 3 kabupaten di atas rata-rata prevalensi balita stunting Sulawesi Barat. Sisanya, 3 kabupaten lainnya berada di bawah angka rata-rata provinsi.
Kabupaten Majene merupakan wilayah dengan prevalensi balita stunting tertinggi di Sulawesi Barat pada 2022, yakni mencapai 40,6% atau dua kali lebih tinggi dari standar WHO. Angka ini tercatat naik 4,9 poin dari 2021 sebesar 35,7%.
Saya menilai Daerah tidak pantas di sebut sebagai kota pendidikan ketika masalah generasi calon terdidik tidak mampu di selesaikan problem nya oleh pemerintah karena uang yang harus nya di supplai untuk rahim ibu-ibu sehingga menghasilkan bayi yang memiliki IQ yang tinggi habis digunakan untuk perjalanan dinas dan belanja dapur pemerintah kabupaten Majene.
Hak dari anak mendapatkan susu dan telur di pakai untuk perjalanan yang tidak memiliki dampak terhadap kabupaten Majene. Sehingga saya menganggap pemerintah telah gagal dalam mengatasi stunting di kabupaten Majene. Sehingga sebagai kota pendidikan kampus harus mampu menjadi solusi bagi problem stunting di kabupaten Majene.
Dengan cara penetapan pembayaran di kampus atau sering di sebut sebagai SPP tidak terlalu memberatkan mahasiswa agar uang yang harus nya digunakan membayar kuliah bisa di gunakan ibu-ibu untuk membeli susu dan telur sehingga HAK yang tadi di rebut oleh pemerintah bisa kembali terpenuhi akibat kebijakan kampus yang objektif.
Saya betul-betul berharap agar kampus bisa menjadi solusi dari tingginya stunting di kabupaten Majene dan bisa menunjang cita-cita bonus demografi.
*Penulis adalah Ketua HMJ SYARIAH & EBI STAIN Majene