Shared Berita

Sulbarpos.com, OPINI – Pilpres merupakan sebuah kontestasi politik yang dilaksanakan tiap lima tahun di Indonesia untuk menentukan siapa yang berhak untuk memimpin negeri ini. Perebutan kekuasaan menjadi presiden telah menjadi hal yang biasa bila telah mendekati akhir kepemimpinan, banyak orang yang bermunculan sebagai calon kuat untuk menggantikan presiden yang sedang berkuasa atau yang akan digantikan ketika masa jabatannya telah usai.

Ditengah perebutan ini banyak hal terjadi dikalangan masyarakat tatkala kontestasi politik paling besar di Indonesia itu semakin dekat, isu isu politik, rekam jejak calon, prestasi dan elektabilitas menjadi hal yang wajar terjadi dikalangan masyarakat. Namun, hal yang paling banyak terjadi ketika pemilihan presiden akan berlangsung isu toleransi yang paling banyak terjadi di kalangan masyarakat. Isu toleransi semakin berkembang karena perbedaan pandangan idologis, agama bahkan etnis sering kali menjadi perdebatan panjangmasyarakat bahkan para relawan masing masing calon.

Intoleransi dalam politik sangat banyak terjadi karena faktor sejarah yang banyak melihat bahwa posisi yang paling awal adalah persoalan suku, banyak orang yang mengatakan bahwa ” jika bukan orang Jawa maka dia tidak akan bisa menjadi presiden” cap yang sangat kental selama ini dalam dunia politik di Indonesia. Hal ini seolah tak dapat dibantahkan karena pada dasarnya 6 dari 7 mantan presiden merupakan keturunan Jawa yang berasal dari garis ayah dan Ibu sedangkan Presiden BJ. Habibie sebagai presiden yang orang kenal berasal dari Sulawesi namun beliau tetap mempunyai darah Jawa lewat jalur sang ibu. Kesukuan inilah yang seolah menjadi sebuah garis besar yang terjadi dalam politik di Indonesia yang telah turun temurun di rasakan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.

Baca Juga  ABM Tuntaskan Kampanye di Mamasa, Dorong Infrastruktur Terpadu untuk Konektivitas yang Lebih Baik

Isu yang paling banyak hadir dalam kontestasi politik ini juga adalah tentang identitas agama yang paling jelas. Identitas agama yang ada ini seolah memberikan dampak pada masyarakat itu sendiri karena presiden harus berasal dari satu agama karena selama ini presiden itu memeluk agama Islam. Ini seolah memberikan pengaruh padahal negara ini sendiri mempunyai semboyan bhineka tunggal Ika yang berarti berbeda beda tetapi tetap satu.

Sebagai sebuah ajang tahunan yang menentukan pemimpin negeri, hal yang paling wajar dilakukan oleh masyarakat adalah menerima perbedaan yang ada sehingga mampu menciptakan kestabilan secara nasional. Menerima ini bukan hanya soal pandangan namun sebagai masyarakat perlu menelaah informasi yang ada sehingga isu isu yang berkembang dalam pemilu yang ada tidak menjadi pengikis persatuan yang ada selama ini.

Langkah yang lain adalah perbedaan dinegeri ini merupakan sebuah keniscayaan dan itu tidak dapat kita bantahkan sehingga sebagai masyarakat harus mampu menangkis isu isu politik, isu sara serta memandang bahwa perbedaan ini telah lama ada sehingga jikalau ada perbedaan dalam pilihan politik itu adalah hal yang wajar sehingga tak perlu memperdebatkan hal itu agar keamanan dan persatuan dalam negeri ini tetap terjaga tanpa ada perpecahan bahkan pertumpahan darah.

Politik adalah bagian besar dari perubahan negeri ini, sedangkan pemilu adalah caranya sehingga jika ingin menjadi bangsa yang besar kita sebagai masyarakat harus mampu menerima pilihan pilihan orang lain karena toleransi bukan hanya soal agama ataupun soal suku saja, namun jauh lebih besar lagi karena toleransi adalah ketika dapat hidup ditengah banyak perbedaan dalam kehidupan sebagai seorang manusia.

 

Penulis : Husni Magfirah
(Mahasiswi STAIN Majene)

Baca Juga  Yohanis Buntulangi Caleg DPRD Provinsi Sulawesi Barat Dapil Mamasa Siap Berkontribusi Untuk Masyarakat

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan