Shared Berita

Oleh: Rizal Donpal

Sulbarpos.com, Opini – Sejak resmi mekar menjadi provinsi pada 2004, Sulawesi Barat telah mencatat berbagai capaian pembangunan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa luasnya wilayah, sulitnya medan, dan sebaran penduduk yang tidak merata masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah. Tidak semua wilayah merasakan percepatan pembangunan yang sama, terutama kawasan perbatasan dan terpencil.

Di tengah tantangan tersebut, lahir wacana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) bernama Kabupaten TOMATAPPA.

Nama ini diambil dari akronim enam kecamatan yang masuk dalam wilayahnya: Tubo, Ulumanda, Malunda, Tapalang, Tapalang Barat, serta Kecamatan Balak-Balakang yang berada di kepulauan.

Gagasan ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan refleksi atas kebutuhan nyata masyarakat di wilayah pesisir dan pegunungan yang selama ini kerap tertinggal dalam arus pembangunan.

Pemekaran daerah di Indonesia sejatinya bukan hal baru. Ia adalah bagian dari perjalanan panjang bangsa ini dalam mengelola wilayah yang amat luas dan beragam. Dari delapan provinsi pada 1945, jumlah daerah otonom kini mencapai 546, terdiri atas 38 provinsi, 93 kota, dan 415 kabupaten.

Artinya, pemekaran adalah keniscayaan sekaligus instrumen untuk menjawab kompleksitas geografis, demografis, dan kultural bangsa.

Tentu, pemekaran bukan sekadar menambah kursi birokrasi atau memecah peta. Lebih dari itu, ia harus berorientasi pada peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Di sinilah letak urgensi Kabupaten TOMATAPPA. Dengan berdiri sendiri, wilayah ini diharapkan bisa mendapatkan alokasi pembangunan yang lebih fokus, pelayanan publik yang lebih dekat, serta perhatian anggaran yang lebih memadai.

Bayangkan, masyarakat di Malunda atau Ulumanda yang harus menempuh jarak berjam-jam ke Majene, atau warga Balak-Balakang yang harus menyeberangi laut hanya untuk mengurus administrasi dasar. Pemekaran menjadi jalan untuk memangkas jarak birokrasi tersebut. Ketika akses pelayanan lebih dekat, partisipasi masyarakat dalam pembangunan juga akan meningkat.

Baca Juga  DPRD Baru Majene, Pemuda Harapkan Sikap Kritis dan Fungsi Pengawasan Lebih Efektif

Namun, perlu diingat, pemekaran daerah bukanlah solusi instan. Ia membutuhkan komitmen politik, perencanaan yang matang, serta kesiapan sumber daya, baik manusia maupun anggaran. Tanpa itu, pemekaran hanya akan menambah beban negara dan melahirkan kabupaten baru yang miskin visi.

Karena itu, gagasan Kabupaten TOMATAPPA harus dipandang sebagai peluang sekaligus tantangan. Peluang untuk menghadirkan keadilan pembangunan, tetapi juga tantangan untuk memastikan agar pemekaran benar-benar menjawab kebutuhan rakyat, bukan sekadar kepentingan elit.

Jika dikelola dengan tepat, TOMATAPPA bisa menjadi contoh nyata bahwa pemekaran daerah masih relevan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih merata, adil, dan sejahtera. (*)

Iklan