Shared Berita

Oleh : Teddy Agustinus Situmorang

 

Sulbarpos.com — Menghitung mundur menuju hari Pemilu, publik disuguhkan perhelatan ramainya suara-suara dari ruang civitas akademika berwujud deklarasi, seruan pernyataan sikap, dan teguran tertulis, kritik tajam di alamatkan kepada Presiden Jokowi Dodo (Jokowi).

Tidak henti di tembok kampus, luapan amarah rakyat juga dikonkretkan lewat seruan teguran dari stakeholder lainnya seperti Organisasi Masyarakat Sipil, terang terlihat seruan dibacakan dalam aktivitas perjuangan massa seperti pada kegiatan Aksi Kamisan di beberapa daerah Indonesia.

Dalam seruan teguran civitas akademi adalah implementasi nilai luhur bakti tanggungjawab moral, juga sebagai kontrol sosial terutama pada saat rezim penguasa telah keluar dari trem kerja mengelola Negara Indonesia.

Kegelisahan telah dicurahkan, maka timbul pertanyaan mengelitik yaitu pasca kemarahan ini apa dan bagaimana yang mesti diperbuat ? Pertanyaan ini bersifat kontemplatif, sebab luas juga banyaknya permasalahan multi sektoral di bumi Ibu Pertiwi.

Rakyat digaungkan untuk menggunakan hak pilih pada Pemilu, akan tetapi sisi sebrang menampilkan fakta bahwa tidak ada jaminan penguasa selanjutnya akan mampu memperbaiki realitas persoalan ini. Sebagai Mahasiswa, Pelajar, serta Orang Muda sangat rentan diokupasi menjadi alat perbudakan politik amoral.

Fakta ini perlu disikapi serius, bukan soal Pemilu di tahun 2024 saja, ini pertarungan masa depan Republik, jika kritisisme telah hilang baik dihilangkan karena kesibukan akademik atau karena rasa fanatik stadium akut. Maka, tidak menutup peluang bahwa orang muda yang tingggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalamai degradasi idealisme.

Kontemplasi kebangsaan menjadi sangat relevan diaktivasikan di tengah arus informasi tanpa filter sebagai konsumsi publik. Sebagai langkah awal untuk mencapai hal tersebut, melalui suatu hal kecil bernilai merajut kesadaran.

Baca Juga  Dalam Suasana Tasyakuran, Tim PHS Bersama Calon DPD RI Hasan Bado Memperkuat Konsolidasi

Nilai ini, menjadi esensial untuk langkah gerak di tengah tinggi hasrat politikus yang memandang sebelah mata atau sebatas alat tukar (barter) yaitu suara kelompok generasi Z. Konteks merawat kesadaran adalah mengingat api perlawanan rakyat pra kemerdekaan hingga reformasi diraih dengan bayaran darah hingga nyawa.

Para tokoh Negarawan pendiri Republik ini telah sadar akan pentingnya ideologi politik untuk melawan penjajah kolonial masa itu. Perwujudan persatuan perlawanan terhadap kolonial melahirkan suatu organisasi di Nederland tepatnya di Universitas Leiden bernama Perhimpunan Indonesia.

Pasca terbentuknya maka pada tahun 1925 dideklarasikan lewat majalah organisasi bernama Indonesia Merdeka, dari hasil kerja kaum intelektual dikenal sebagai Manifesto Politik 1925.

Konsep ini sebagai awal modernisasi kebudayaan politik di Republik kala itu. Tokoh seperti Bung Hatta, Ali Sastroamidjojo, Soenaryo, Widagdo, Boediman setelah kembali di tanah air merealisasikan konsep Manifesto Politik 1925 dengan tidak mudah, melalui penjara ke penjara, tidak dengan memilih kompromis pada penjajah kolonial.

Sebagai generasi penerus Bangsa digaungkan menuju Indonesia Emas 2045, akan tetapi fakta bahwa Indonesia belum sepenuhnya sejahtera, tidak bisa terdistribusikan keadilan di masyarakat. Perlawanan yang ditunjukkan dari setiap periode waktu pasca Proklamasi hingga reformasi 1998, jika dikorelasikan pada waktu masa kini yaitu setelah reformasi berusia 25 tahun.

Maka, terang dan jelas bahwa gerakan perjuangan hak asasi manusia dan perlawanan menyelamatkan demokrasi adalah bagian tidak terpisahkan dari konsep Manifesto Politik 1925.

Sebagai insan civitas akademika di bidang ilmu hukum sudah dipastikan merasa marah, kecewa terhadap rezim yang menggunakan hukum sebagai alat pelanggengan kekuasaan. Sementara di bangku kampus diajarkan bahwa hukum harus identic dengan keadilan, karena hukum yang tidak adil adalah pelanggaran yang paling keji.

Baca Juga  Muhammad Daamin Komitmen Perjuangkan Aspirasi Masyarakat

Sejak revisi UU KPK, UU Minerba, Pembentukan UU Cipta Kerja lewat metode Omnibus Law, hingga permasalah kode etik seorang Hakim di Mahkamah Konstitusi akibat relasi kuasa dan benturan kepentingan pribadi,dan persoalan banyak lainnya, telah jelas mendeskripsikan brutal rezim secara terstruktur, sistemik, dan masif.

Lantas, masihkah layak Pemilu dikampanyekan sebagai pengganti harapan baru atau sekedar angin segar palsu hingga konflik sesama demos (rakyat)? Pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali, tugas rakyat mengawasi jalannya penguasa terpilih.

Tugas tersebut menjadi tugas sepanjang hayat, karena prinsipnya adalah kedaulatan tertinggi negara berada di tangan rakyat. Rapatkan barisan Rakyat, rebut kedaulatan rakyat, hilangkan rasa takut, mari kembalikan nilai luhur Konstitusi, wujudkan demokrasi kerakyatan milik Rakyat bukan elit partai politik, bukan milik Oligarki.

 

Penulis adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Bandung

Iklan