Oleh : Miswar
Sulbarpos.com — Beberapa kelaziman pemilu di negara manapun meniscayakan penyelenggaraan secara bebas, sehat serta kompetitif dan tentunya berdasarkan undang-undang pemilu negara tersebut.
Berangkat dari asumsi ini dalam menyelenggarakan pemilu maka tentu sistem pemilu suatu negara akan semakin terpercaya dan kredibilitasnya pun akan semakin tinggi.
Dengan demikian penyelenggaraan pemilu yang sejati demokratis, seharusnya akan lebih memungkinkan untuk meminimalisir adanya praktek-praktek kotor yang menyimpang dalam proses penyelenggaraan.
Akan tetapi tentu akan balik lagi menjadi pertanyaan sudahkah penerapan sistem pemilu sebagai sistem yang memiliki kemampuan untuk menjamin tumbuhnya kepercayaan, meningkatkan kredibilitas dan demokratisasi serta standarisasi.
Dapat meminimalisir praktek-praktek kotor seperti money politik dan ataupun yang semacamnya dalam proses tersebut? Hampir semua di banyak negara dengan tingkat demokrasi yang tinggi, sistem pemilihan berdasarkan atas partai-partai.
Partai-partai inilah yang kemudian mengajukan kandidat dan calon yang akan dipilih dalam setiap momen pemilu. Meski demikian di beberapa negara yang bahkan sangat maju dalam demokrasi, umumnya masyarakat tidak sekedar peduli dengan individu-pribadi kandidat dan calon dari partai, namun partai dengan program-programnya juga cukup mempengaruhi dukungan suara dan pilihan yang diberikan.
Oleh karena itu peran partai dalam pemilu sepatutnya menghadirkan kondisi yang dapat meminimalisir terutama penyalahgunaan keuangan akibat praktek kotor money politic untuk masuk ke parlemen dan institusi lainnya. Dengan demikian mesti diupayakan untuk memperkuat penegakkan sistem pemilihan dalam hal penyelenggaraan pemilu; khususnya mendorong dan mengembalikan posisi serta peran vital partai sebagai pilar utama yang berperan penting dan strategis dalam me-mediasi ranah masyarakat dan negara serta institusi penjaga sistem dan nilai-nilai demokrasi.
Adanya celah yang berpotensi melemahkan sistem pemilu tentu dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Munculnya peluang praktek kotor money politic misalnya dalam proses tersebut, sangat boleh jadi disebabkan ketidaan serta lemahnya partai yang mampu mendapatkan posisi sentral dan bernilai terpercaya di hati para pemilih dalam mengakomodir aspirasi yang menghubungkan keberlangsungan kesejahteraan pemenuhan hajat hidup warga dalam bernegara.
Akan tetapi selain itu tentu juga tidak boleh diabaikan terdapat pengaruh akan lemah-kuatnya hukum perundang-undangan serta peredaran uang dalam sistem dan mekanisme demokrasi yang berlaku.
Hal inilah yang kadang menyebabkan betapa mahalnya biaya sistem teknis politik di Indonesia, sehingga membuat para kompetitor demokrasi berupaya berlomba-lomba melakukan berbagai manuver untuk menumpuk pundi-pundi uang dalam menjalankan roda organisasi partai agar tetap kompetitif dalam pemilu.
Tak jarang tatacara dan praktek penggalangan dana yang tidak dilandasi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas berujung berbagai kasus pelanggaran hukum, dugaan korupsi, yang boleh dikata dilakukan hampir selalu melibatkan orang partai politik.
Belum lagi aturan hukum yang terkait dengan itu hampir-hampir tak mampu membatasi partai politik untuk bisa dikuasai oleh seorang atau sekelompok anggotanya karena kemampuannya dalam memberikan sumbangan.
Tak heran jika kemudian berimbas pada munculnya golongan elit berkuasa, oligarkis, yang menguasai kekayaan dan kekuasaan politik dalam masyarakat yang memasuki berbagai institusi dan lembaga kekuasaan dalam demokrasi-politik.
Dengan kondisi demikian tentu pemilu sebagai sistem dan mekanisme demokrasi sulit untuk diharapkan bekerja dengan hasil yang ideal.
Konsekuensi dari sistem pemilu yang demikian dapat menyebabkan potensi kemungkinan akan korupsi keuangan, karena calon dan kandidat yang nantinya terpilih dengan biaya bisa bernilai sangat fantastis, sehingga untuk itu tentu saja seorang kandidat kadang tidak merogoh koceknya sendiri dan bahkan tak segan menggunakan uang kotor.
Salah satu bentuk politik uang yang banyak terjadi adalah pemberian mahar politik kepada partai. Praktik ini tentu saja akan merusak demokrasi, sekaligus menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak kompeten dan korup dengan membayar uang sebagai “mahar” agar mendapatkan kendaraan di partai politik untuk dicalonkan serta mendapat “stempel” dan restu dari parpol.
Dengan demikian tak mengherankan jika inilah salah satu aspek yang membuat ongkos politik di Indonesia menjadi mahal, dan berdampak buruk bagi demokrasi, regulasi, dan masyarakat secara luas.
Sebab dapat dipastikan kandidat yang terpilih karena mahar politik banyak yang tidak memiliki integritas dan kapasitas untuk menjadi pemimpin atau menjadi wakil rakyat.
Karena mengandalkan uang, sangat mungkin figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, dan merasa bisa menang dengan cara apapun, dan bukan karena berintegritas.
Mahar politik akan membuat seseorang akan putar otak mengembalikan modal yang dikeluarkannya ketika mengikat restu dari partai, sehingga berbagai kebijakan dan regulasi yang dihasilkan nantinya hanya akan menguntungkan diri serta kelompoknya saja, dan bukan rakyat.
Perilakunya dalam menyelenggarakan negara akan menciptakan dan menyebabkan korupsi, merusak demokrasi dan sistem pengkaderan partai.