Oleh : Muhammad Rizky
Sulbarpos.com — Dinamika Pemerintahan Daerah pasca diakuinya otonomi daerah yang kita maknai secara mandiri dalam mengelola pembangunan daerah (UU 22/1999, saat ini UU 23 tahun 2014) tentu saja tidak selalu berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan.
Dalam perjalanannya menemui banyak tantangan dan realitas bahwa untuk sampai pada tujuan otonomi daerah tidak semudah yang dibayangkan.
Kemarin saya agak shock membaca langkah hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah diseberang sana yang seolah-olah membatalkan keberlakukan Peraturan Bupati (Perbup) melalui Surat pernyataan.
Sangat tergelitik bahkan hampir tertawa membaca langkah hukum yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut. Setidaknya dengan beberapa dasar argumentasi.
1. APA ITU SURAT PERNYATAAN ?
Dalam KBBI kita tidak menemukan apa yang dimaksud dengan surat pernyataan secara pemaknaan yang gramatikal namun Sesungguhnya surat pernyataan sering kita maknai sebagai perbuatan yang dibuat secara tertulis terkait situasi atau kondisi seseorang yang membuat mereka perlu membuat pernyataan untuk menyelesaikan sebuah tanggung jawab.
Surat ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang penting.
Mungkin Surat Pernyataan yang dimaksud oleh pemerintah daerah tersebut dalam hal ini kita maknai secara konstitusional sebagai “ketatapan tertulis”(beschikking). sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (9) UU Peradilan Tata Usaha Negara yang merupakan suatu keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara.
Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan kebijakan dan sebagainya.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan dalam segi pembuktian.
Namun penggunaan Nomenklatur “Surat Pernyataan” tetap saja adalah hal yang sesat pikir sekalipun kita memaknainya sebagai sebuah keputusan tata usaha negara (KTUN) Semoga clear dengan pembahasan singkat tentang surat pernyataan ini.
2. PEMBATALAN PELAKSANAAN PERATURAN KEPALA DAERAH (PERKADA/PERBUP)
Sekalipun Peraturan kepala Daerah tidak masuk dlam hirarki peraturan perundang-undangan dalam pasal 7 UU 12/2011 namun pasal 8 mengakui eksistensi peraturan kepala Daerah (regeling) dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Berbeda dengan surat pernyataan yang secara materil berbeda fungsi dan tempatnya dalam UU 12/2011.
Pembatalan keberlakukan Perbup melalui surat pernyataan merupakan hal yang sesat pikir.
Ntah ilham darimana sehingga bupati menandatangani surat pernyataan untuk tidak memberlakukan peraturan bupati yang telah diundangkan yang juga dalam lampiran perbup tersebut telah jelas diuraikan tahapan pelaksanaan pilkades serentak tahun 2023.
Saya paham bahwa ini sangat kental dengan unsur politis tetapi tidak juga membenarkan langkah yang tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Siapapun yang menyusun surat pernyataan tersebut dengan maksud untuk tidak memberlakukan atau menunda pelaksanaan pilkades serentak untuk kembali membaca UU 12 tahun 2011 dan Permendagri 120 Tahun 2018.
3. STATUS PERATURAN BUPATI YANG TELAH DITUNDA MELALUI SURAT PERNYATAAN.
Meskipun dalam system hukum Indonesia tidak mengenal adanya putusan terhadap peraturan perundangan yang bersifat batal demi hukum (null and void atau van rechtswege nietig). Namun Konsep yang berlaku adalah sifat dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Adapun asas yang mendasarinya adalah asas praduga keabsahan dimana di dalam studi kepustakaan dikenal dengan asas praesumptio iustae causa yang maknanya adalah bahwa setiap tindakan pemerintah adalah sah sepanjang belum dibuktikan sebaliknya.
Namun pertanyaannya “apa yang ingin dibuktikan dengan pembatalan keberlakukan perbup dengan surat pernyataan?” Maka jawabannya adalah membuktikan bahwa surat pernyataan yang dianggap sebagai keputusan tata usaha negara sebagai sesuatu yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk membatalkan keberlakukan Peraturan Bupati yang sesungguhnya, bagaimana mungkin keputusan (beschikking) yang sifatnya individual dan Kongkrit dapat membatalkan Peraturan Bupati (regeling) yang sifatnya umum dan abstrak, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sama.
Sehinga saya Yakin dan percaya Surat Pernyataan (keputusan bupati) tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan TUN. Yang berkonsekuensi Peraturan Bupati tersebut tetap harus dijalankan.
Namun dalam kajian yang berbeda bupati saat ini sedang dalam keadaan terhimpit dengan langkah yang telah diambil, yang masing-masing adalah mengeluarkan Perbup dengan tidak memperhatikan AAUPB dan pembatalan pelaksanaan perbup melalui Langkah hukum yang keliru. Sehingga DPRD menurut saya haruslah mengambil sikap tegas dalam persoalan ini.
Apalagi 2 kali pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di gedung DPRD Kab. Majene pada tanggal 15 Maret 2023 dan tanggal 12 Mei 2023 seakan tidak diindahkan tanpa alasan yang jelas. Misalnya saja hasil rapat dengan forkopimda yang tdk jelas kapan dan apa hasilnya.
Penulis adalah Mahasiswa UI