Shared Berita

Oleh: Samratul Ulliya 

Sulbarpos.com — Mutiara adalah metafora untuk sesuatu yang langka, mengagumkan, dan berharga. Sehingga kalimat indah, inspiratif, dan menyadarkan disebut “kata mutiara”. Umumnya kata mutiara berasal dari para tokoh dan orang-orang besar, demikian pula para Anbiya sebagai yang terbesar diantara semua tokoh besar, sabdanya sedemikian berharga bahkan lebih bernilai dari sekedar kata mutiara dan seluruh mutiara di dunia.

Bolehjadi karena itulah sabda suci Nabi tidak dapat disematkan sekedar kata mutiara, lebih dari itu ia dikenal sebagai “hadis” ataupun “sunnah”. Hadis tercakup dalam pengertian riwayat, diantara makna riwayat adalah cerita, kisah, dan kejadian. Namun terkait hadis hanyalah riwayat mengenai perkataan, perbuatan, serta hal yang disetujui Rasulullah.

Demikian pula akan sunnah yang berarti perikehidupan atau perilaku. Sebagian mengatakan sunnah berasal dari ungkapan sunnatul ma’i idza walayta fi shabbihi menuangkan air (berkesinambungan, tanpa putus). Orang Arab mensejajarkan jalan lurus seperti kesinambungan air mengalir tanpa terputus, dan kesinambungan air menuju satu arah layaknya air itu hanya satu.

Akar kata sunnah adalah sanan atau sunan yang berarti thariiq yaitu metode, jalan atau cara. Jadi istilah sunnah Nabi menunjukkan kebiasaan beliau dari perkataan, perbuatan, maupun sesuatu yang disetujui, sehingga menjadi panutan serta uswah ummat manusia.

Surah Al-Ahzab mengatakan laqad kana lakum fii Rasuulillahi uswatun hasanah (sesungguhnya, pada diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu). Pada surah An-Najm dikatakan wamaa yanthiqu ‘anilhawa. In huwa illa wahyun yuuha (dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya.

Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya). Karena itu kalam Nabi merupakan hujjah bagi ummat Islam yang wahyu tegaskan sendiri, dan kemudian disebut hadis yang salah satunya adalah lisan suci Rasulullah. Maka hadis berperan penting dalam mengenalkan ma’arif Islam, sebab hadis merupakan salah satu sumber mendasar ilmu Islam.

Baca Juga  Peran Iran dalam Mendukung Perjuangan Palestina

Meski ada kitab suci Al-Quran, namun Qur’an lebih berupa semacam hukum kulli yang tidak semua hukum dijelaskan secara detail. Misalnya, haji adalah wajib bagi yang mampu, Qur’an menyebutkan hukum aslinya wa atimmul hajja wal umrata lillahi (dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah) sementara waktu dan cara melaksanakan Qur’an tidak spesifik jelaskan.

Rincian syariat haji atau bab fiqih lainnya, kesemuanya hanya dapat dipahami dengan penjelasan dari Rasulullah. Surah An-nahl mengatakan wa anzalna ilaikadzdzikra litubayyina linnaasi maa nuzzila ilaihim wala’allahum yatafakkaruun (Dan kami tunurunkan kepadamu az-zikr (Al-Qur’an), agar engkau menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka merenungkan). Jadi, hadis adalah salah satu kunci memahami syariat, maka merujuk hadis tidak akan berhenti dan menjadi keharusan penting agama.

Jika tidak maka ma’arif Islam beresiko mengalami kepunahan, sehingga merujuk hadis merupakan keniscayaan. Karena itu tela’ah kehidupan Rasulullah adalah keharusan agar lebih mengenal ma’arif dan pengetahuan Islam. Namun sayangnya terdapat penggalan sejarah kelam yang mencoba memisahkan riwayat-riwayat kenabian dari pentas sejarah –khususnya situasi yang memaksa menafikan pelestarian hadis Rasulullah.

Makhluk yang rasional tentu dapat memahami utusan Allah selayaknya dijadikan teladan hidup. Tetapi ironisnya mutiara indah hadis suci Rasulullah nyaris terpendam sejarah oleh pertimbangan “kepentingan” sehingga dalam waktu lama hadis Nabi tuntunan hidup Ilahiah tidak terekam tradisi literasi.

Sesungguhnya keterlibatan manusia dalam sejarah tidak selalu meniscayakan rasionalitas sejarah berjalan alami, bahkan sering terjadi kesenjangan antara realitas dengan idealitas perjalanan sejarah. Sunnah Nabi yang menyejarah dan mengubah sejarah manusia pun tak luput dari kesenjangan sejarah. Rasulullah sebagai uswah seharusnya menjadi pedoman hidup dengan sunnahnya.

Baca Juga  Melepaskan Penilaian Pada Sekat-Sekat Fisik

Fakta sejarah justru berkebalikan, terdapat rentang masa yang panjang hadis pernah ternegasi dari upaya dokumentasi agar tetap lestari dan terliterasi oleh generasi berikutnya. Terlepas apapun motif negasi tersebut ummat manusia hampir saja mengalami penyesalan sepanjang masa.

Sebab sudah maklum betapa kedudukan hadis dan sunnah pada kitab suci Al-Qur’an-hudallinnaas. Untunglah terdapat tangan-tangan mulia yang peduli berjerihpaya sehingga mutiara suci peninggalan Rasulullah terpelihara hingga kini.

Rasulullah sendiri sangat menekankan tradisi penulisan demi terpeliharanya ilmu, dan tentu termasuk hadis dalam hal ini. Rasulullah bersabda qayyidul ‘ilmi bil kitab (Peliharalah ilmu dengan menulisnya). Membincangkan sejarah Rasulullah, terbayanglah pribadi al-amin akan perangai, akhlak, sikap, dan tutur beliau panutan ummat manusia.

Tutur dan perangai mulia yang kemudian terekam dikenal dengan sunnah –yaitu perkataan, perbuatan, perilaku beliau semasa hidup. Akirnya refleksi dalam suasana maulid, dengan nama yang begitu mulia, jutaan bibir setiap hari mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat berdenyut berulang kali.

Bibir dan jantung yang bergerak dan berdenyut lebih seribu empat ratus tahun lalu. Nama yang begitu mulia, berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta jantung akan tetap berdenyut hingga akhir zaman. Setiap hari dikala fajar, saat lingkaran putih ufuk timur mulai menghalau gelap-malam, ketika muazzin berseru-bersaksi Tuhan hanyalah Allah dan Muhammad utusanNya, mengajak makhluk insani bersujud kepadaNya serta bershalawat kepada Nabi-Nya. Allahumma Shalli’ ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad.

Seorang al-amin hadir di tengah kebobrokan moral, menjadi uswah ummat manusia. Air mukanya membiaskan kontemplasi dan kedalaman pikiran, wibawa terpancar dari teduh matanya membuat orang patuh. Menyebar cinta kasih, menyempurnakan agama samawi terdahulu dialah khatamun Anbiyaa’ Muhammad shallallahu ‘alaihi wa aalihi.

Baca Juga  Bahasa dan Teknologi Merajalela di Era Industri 4.0.

 

Penulis adalah Pegiat Ulumul Qur’an & Hadis, Staf Pengajar Al-Hikmah Institute Makassar

Iklan