Oleh : Mahyudin Usman
Sulbarpos.com — Dalam Regulasi Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Bab II tentang Pengawas Pemilu disana telah disebutkan fungsi pengawas PEMILU yakni Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawalu Kabupaten/Kota dan lembaga Pengawas ad hoc Pangwas kecamatan (Panwascam), Pengawas Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS.
Lembaga ini bertugas untuk mengawasi seluruh proses tahapan dan jadwal PEMILU secara berjenjang. Pada pasal 90 bagian (1) Undang-undang No. 7 tahun 2017 Panwalu Kecamatan, Panwanlu Kelurahan dan Desa dibentuk paling lambat 1 bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan PEMILU dan dibubarkan paling lambat 2 bulan setelah tahapan penyelenggaraan PEMILU berakhir.
Kelanjutan pada pasal 90 bagian (2) telah disebutkan Pengawas TPS dibentuk paling lambat 23 hari sebelum hari pemungutan suara dan dibubarkan paling lambat 7 hari setelah hari pemungutan suara usai.
Kemudian pada pasal 92 bagian (4) disebutkan jumlah anggota Panwaslu Kelurahan dan Desa berjumlah 1 orang. Dan pada bagian ke (6) disebutkan Pengawas TPS berjumlah 1 orang disetiap TPS.
Apa yang menjadi anti-tesa kita dalam melihat persoalan ini? Pertama fungsi Pengawasan pada level Kelurahan/Desa tidak diberikan porsi berdasarkan luas Keluran/Desa dan jumlah DPT disetiap wilayah kerjanya masing-masing dan hal ini akan memungkinkan porsi pekerjaan Pengawas tidak berimbang.
Kedua Pengawas TPS hanya dibentuk pada saat 23 hari menjelang pemungutan suara berlangsung.
Sementara dalam UU No. 7 Tahun 2017 sangat jelas dalam menentukan rasio jumlah anggota KPU dan Bawaslu berdasarkan luas wilayah kerja dan jumlah angka DPT.
Kenapa rasio jumlah ad hoc tidak ditentukan berdasarkan jumlah angka DPT disertiap Kelurahan/Desa? dan kenapa Pengawas TPS tidak diangkat 1 bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan PEMILU?
Maksud ini sangat beralasan sebab berkenaan dengan tingkat kerawanan PEMILU dan indikasi money politic disetiap di level grass roots.
Bayangkan saja satu orang Pengawas mengawasi satu Kelurahan/Desa yang luas dan jumlah DPT yang pemilihnya mencapai angka ribuan bagaimana system pengawasannya? Ini rasanya sangat sulit sementara disisi lain kita tidak bisa mengharapkan Pengawas TPS karena pengangkatan mereka dilakukan 23 hari menjelang Pemungutan Suara.
Partisipasi aktif dari semua stakecholders termasuk masyarakat yang diharapkan oleh Penyelenggara PEMILU lagi-lagi belum membuahkan hasil yang signifikan samapai detik ini. Sosialisasi partisipasi aktif dilakukan hanya lewat media social dan jarang menyentuh pada masyarakat bawah.
Okelah bahwa masyarakat sudah terbiasa dengan perhelatan PEMILU tetapi apakah pengalaman itu dapat membantu kita dalam melakukan pengawasan?
Padahal Para peserta pemilu sudah melakukan sosialisasi kemana-mana sampai tingkat masyarakat bawah.
Dalam pada itu bisa saja mereka sudah membuat pengidentifikasian dimana masyarakat potensial yang mudah dilakukan barter suara. Hal ini sangat mudah apabila kita tidak punya flatform dan system pengawasan yang baik.
Apalagi kalau kita beranjak ke Perbawaslu No. 7 tahun 2022 yang mengatur tentang Penaganan Temuan dan Laporan Pelanggaran PEMILU, apakah juknis ini dapat terpahami dengan baik?.
Semua ini butuh evaluasi yang serius oleh para stakecholders termasuk Penyelenggara PEMILU.
Belum lagi kita membicarakan sejauh mana kualitas dan kemampuan Pengawas yang dibentuk oleh penyelenggara dalam melakukan pengawasan di level bawah apakah semua memiliki kemampuan-kemampuan intelegensi yang cukup dalam mendukung pengetahuan Pengawasan agar para Pengawas lebih professional dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Ini semua perlu menjadi perhatian kita karena berhubungan dengan kridebelitas dan integritas aparat pengawasan untuk mencegah kerawanan PEMILU termasuk money politic.
Mahyudin Usman adalah Dosen Universitas Teknologi Sulawesi (UTS)