Oleh : Muh.Sukri (Akademisi) Pengamat Kebijakan Publik
Polewali Madar, Sulbarpos.com — Di tengah arus zaman yang terus berubah, dua naskah dari lintasan sejarah Indonesia kini menjadi sorotan: Lontara, naskah kuno Bugis-Makassar yang merekam kebijaksanaan leluhur, dan LKPJ atau Laporan Keterangan Pertanggungjawaban, dokumen modern yang mencerminkan akuntabilitas kepala daerah. Rabu,(30/4)
Meski berasal dari era dan fungsi yang berbeda, keduanya memegang peran sentral dalam membingkai wajah kekuasaan: dari tradisi ke demokrasi.
Lontara adalah naskah warisan budaya masyarakat Bugis-Makassar, ditulis di atas daun lontar dengan aksara khas.
Isinya mencakup silsilah kerajaan, hukum adat, nilai moral, hingga epos besar Sureq Galigo—karya sastra yang bahkan disebut-sebut melampaui panjang Mahabharata.
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, Lontara bukan sekadar dokumen. Ia adalah refleksi jati diri, panduan hidup, dan sekaligus instrumen legitimasi kekuasaan.
Seorang raja atau pemuka adat tak jarang mengacu pada isi Lontara untuk memperkuat posisinya secara historis dan moral.
Berbeda dari Lontara yang lahir dari tradisi, LKPJ merupakan produk sistem pemerintahan modern. Disusun oleh kepala daerah setiap tahun, LKPJ berisi laporan program kerja, realisasi anggaran, capaian pembangunan, serta hambatan yang dihadapi.
Fungsi utamanya adalah membangun transparansi dan akuntabilitas di era demokrasi. Melalui LKPJ, publik bisa menilai kinerja pemimpinnya secara objektif—apakah janji politik mereka ditepati atau tinggal janji semata.
Dalam era digital, LKPJ bahkan berkembang menjadi dokumen interaktif yang dapat diakses publik secara online, mendukung semangat keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat.
Meski terpaut ratusan tahun, Lontara dan LKPJ sama-sama mencerminkan bentuk pertanggungjawaban penguasa kepada rakyatnya. Yang satu dalam balutan nilai, mitos, dan kearifan lokal; yang lain dalam bingkai hukum, data, dan grafik.
Keduanya menunjukkan bahwa tulisan bukan hanya alat komunikasi, tapi juga instrumen peradaban. Jika Lontara menjunjung nilai-nilai etis dan spiritual, LKPJ menegaskan pentingnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
Pertanyaan pentingnya: Bisakah nilai-nilai Lontara diintegrasikan dalam penyusunan LKPJ masa kini? Jawabannya: sangat bisa. Penyusunan LKPJ tak harus selalu kaku dan teknokratis.
Ia bisa dihidupkan dengan narasi yang menyentuh hati rakyat, gaya bahasa yang membumi, dan semangat etika yang mengakar pada nilai-nilai lokal.
Hal ini bukan hanya membuat laporan lebih mudah dipahami, tapi juga memperkuat kedekatan emosional antara pemerintah dan rakyat—seperti halnya Lontara dahulu mengikat masyarakat dengan pemimpinnya melalui nilai dan makna.
Diskursus ini penting digaungkan di tengah momentum penyusunan dan evaluasi LKPJ tahun berjalan oleh berbagai kepala daerah di seluruh Indonesia.
Wacana ini tidak hanya relevan di Sulawesi Selatan, tempat Lontara berasal, tetapi juga di seluruh Nusantara yang sedang mencari jati diri dalam menyelaraskan tradisi dan modernitas.
Pemerintah daerah, akademisi, pegiat budaya, dan tentu saja jurnalis, adalah pihak-pihak yang perlu terlibat aktif mengangkat kembali nilai-nilai luhur dari naskah seperti Lontara.
Upaya ini akan memperkaya praktik demokrasi lokal dengan sentuhan kultural yang lebih humanis.
Lontara dan LKPJ adalah dua bentuk dokumentasi kekuasaan yang mencerminkan konteks zamannya.
Namun keduanya memiliki nilai universal yang sama: mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari tanggung jawab kepada rakyat dan komitmen terhadap nilai-nilai luhur.
Di tengah derasnya arus birokrasi modern, barangkali sudah saatnya kita menoleh ke belakang—bukan untuk mundur, melainkan untuk melangkah lebih bijak ke depan.
“Lontara ditulis di atas daun, LKPJ di atas kertas. Tapi keduanya adalah tinta sejarah, dan kita semua adalah pembacanya.”
(*Bsb)