Shared Berita

Sulbarpos.com, Majene – Kebijakan Pemerintah Kabupaten Majene untuk menertibkan lapak Pedagang Kaki Lima (PKL) di sejumlah titik pusat kota menuai polemik.

Meski dinilai sebagai bagian dari penataan wajah kota, langkah ini memunculkan kekhawatiran karena dianggap mengabaikan hak ekonomi warga kecil.

Pemkab Majene beralasan, penertiban dilakukan demi meningkatkan estetika kota, memperbaiki fasilitas umum, dan menjaga ketertiban.

Namun di lapangan, para pedagang merasa tidak diberi ruang untuk berdialog, bahkan menyebut tidak ada rencana relokasi yang disiapkan sebelum tindakan penggusuran dilakukan.

Kami bukan mengganggu, kami hanya cari makan. Kalau mau ditertibkan, tolong sediakan tempat baru dulu,” ujar salah satu pedagang yang memilih tak menyebut nama.

Sejumlah pihak menilai pendekatan yang digunakan pemerintah terlalu terburu-buru dan minim empati. Para pengamat kebijakan publik hingga pegiat hak asasi manusia menilai, penertiban semestinya dilakukan dengan pendekatan dialogis dan berbasis keadilan sosial.

Aktivis HAM, Fhalar Anwar, menyampaikan bahwa penataan kota adalah hal penting, namun tidak bisa mengesampingkan hak warga untuk bertahan hidup.

“Negara harus hadir dengan solusi, bukan hanya kebijakan sepihak. Dialog, transparansi, dan relokasi yang layak adalah kunci,” tegasnya.

Langkah penggusuran yang tanpa perencanaan matang disebut berpotensi memperburuk kondisi sosial, bahkan memicu ketegangan antara aparat dan masyarakat kecil.

Banyak yang menilai ini juga bisa menjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar yang dijamin konstitusi, termasuk hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Kini masyarakat Majene menanti apakah pemerintah daerah akan melanjutkan langkah penggusuran, atau justru membuka ruang dialog demi menciptakan solusi bersama yang adil dan manusiawi?

Baca Juga  Cegah Siswa yang Berkeliaran, SATPOL PP Kabupaten Majene Turun Lakukan Pengawasan

(Red)

Iklan