Shared Berita

Sulbarpos.com — Terdapat beberapa macam pengertian demokrasi, itulah mengapa boleh dikata sebenarnya demokrasi tidak memiliki pengertian yang defenitif. Akan tetapi tetap saja dengan merujuk pada beberapa definisi dan penerapan-penerapan demokrasi dapat dipertimbangkan beberapa rujukan untuk itu, dimana seluruh definisi dan penerapan demokrasi hadir, seperti pada konsep yaitu prinsip pemerintahan rakyat atas rakyat.

Sementara di sisi lain sistem politik yang religius terdapat semacam pendapat aksiomatik yang disepakati bahwa kekuasaan mutlak hanya milik Tuhan. Tidak ada keraguan Tuhan memiliki kekuasaan atas seluruh makhluk, sebab jika seseorang menerima Tuhan sebagai pencipta, mau tidak mau ia berada dibawah kekuasaan-Nya dan ia menganganggap Tuhan berkuasa atas dirinya.

Karena itu hanya Tuhanlah yang berhak memerintah manusia dan pemerintahan lain pada akhirnya harus bersambung pada rangkaian yang berujung kekuasaan Ilahiah, sebab kekuasaan dalam bentuk apapun pada suatu komunitas akan diikuti oleh penggunaan dan tindakan penguasaan atas jiwa dan harta serta pembatasan kebebasan manusia, dan perkara ini berasal dari hak pemerintahan para pemegang kekuasaan atas masyarakat.

Dan jika pemerintahan para penguasa tidak memiliki percikan religius, ada kemungkinan seluruh gerak dan langkahnya dapat berujung pada kezaliman. Maka tidak mungkin ditolak pemerintahan haruslah bersifat hakiki dan Ilahiah yang merupakan pemilik sejati, pencipta serta pengatur manusia, dan tanpa izinnya tiada satupun manusia yang memiliki hak memerintah atas hamba-hamba-Nya; Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan pemberi keputusan yang paling baik.

Demikianlah yang dijelaskan dalam surah Al-An’am ayat 57. Oleh karena itu seluruh orang-orang yang memiliki kepercayaan dan iman selayaknya taat pada perintah Ilahiah dan sehingga demikian pula mengikuti manusia-manusia utama pilihan Ilahi. Berbagai teks-teks agama telah mewajibkan demikian yaitu bahwa Tuhan mewajibkan untuk mentaati mereka.

Sedangkan mengenai persoalan demokrasi dan hak berpendapat rakyat tentu dapat diterima dalam konteks sistem politik yang religius selama demokrasi bermakna kekuasaan rakyat yang tidak menegasi hak universal yang Ilahi, yaitu demokrasi dan kekuasaan rakyat yang mengedepankan pemerintahan tetapi di sisi lain memiliki spirit Ilahiah yang universal dan diikuti legislasi serta penegakan hukum dalam kerangka sistem politik yang adil.

Dari aspek ini, dalam suatu sistem politik yang memiliki spirit keagamaan dan religiusitas tentu tidak akan bertentangan dengan hak berpendapat rakyat seperti dalam beberapa hal:

Baca Juga  Toleransi: Kunci Harmoni Dalam Masyarakat Multikultural

Pertama, pilihan model suatu sistem pemerintahan yang religius tentulah harus melalui kehendak rakyat. Dapat dikata hampir dalam setiap agama suatu sistem politik dan penyelenggaraan pemerintahan tidak diizinkan memaksakan membentuk pemerintahan religius, namun jika rakyat mendukungnya tentu ada semacam suatu tuntutan untuk wajib menjalankan misi tersebut.

Oleh karena itu para Nabi sekalipun yang telah terpilih dengan pengesahan Ilahiah untuk memerintah dan memimpin rakyat, tetapi praktis tugas tersebut sukar dijalankan sebelum rakyat menyatakan dukungan kepadanya, sebab wadah penerapan pemerintahan dan kepemimpinan belum tersedia.

Maka dengan demikian telah jelas alasan mengapa hak pilih dan pendapat rakyat memiliki kedudukan yang sangat signifikan, dan gagasan yang benar dalam hal ini adalah pendapat rakyat merupakan sesuatu yang niscaya untuk menjalankan pemerintahan Ilahiah, sehingga wajar jika manusia-manusia utama yang didaulat secara Ilahiah sekalipun tidak dapat memaksa rakyat membentuk pemerintahan.

Kedua, musyawarah antara pemerintah dengan rakyat. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan bagi penguasa yaitu harus mengetahui pendapat rakyat melalui musyawarah dan alangkah lebih baik ketika selalu diterapkan dalam berbagai perkara pengelolaan masyarakat.

Tentu saja, ketika ketentuan suatu masalah telah dijelaskankan dan menjadi konvensi umum Ilahiah, penguasa wajib bertindak sesuai dengan hal tersebut, bahkan apapun itu bertentangan dengan pendapat rakyat. Dan bahkan pada suatu kondisi rakyat pun tidak memiliki hak untuk protes jika sedari awal telah menerima pemerintahan yang didasarkan pada perintah dan hukum Ilahi.

Akan tetapi dalam berbagai permasalahan lain, pemerintah tetap harus mendengarkan pendapat rakyat untuk pengaturan lebih baik akan berbagai hal, dalam hal ini Qur’an mencontohkan pada surah Ali ‘Imran ayat 159: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam berbagai urusan”. Pada ayat ini Allah memerintahkan Nabi SAW untuk bermusyawarah dengan rakyat, maka dengan demikian demokrasi dan pemilu tentulah merupakan suatu momentum yang sangat baik untuk mendengarkan pendapat rakyat.

Ketiga, dalam hal pengawasan rakyat terhadap para penguasa. Terhadap suatu pemerintahan yang bernafas Ilahiah, tentulah memiliki dasar keniscayaan untuk menyeru kabaikan dan mencegah kemungkaran. Untuk hal ini Al-Qur’an dalam surah Ali ‘Imran ayat 104 mengatakan: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.

Baca Juga  Dilema, Antara Popularitas dan Kualitas

Karena itulah dalam kerangka ini dapat dikatakan rakyat memiliki fungsi pengawasan penerapan yang baik dari berbagai penegakan aturan hukum dan begitu juga pelaksanaan adab serta nilai moral religius, sebagaimana ketaatan terhadap kewajiban dan keadilan. Pemilu dalam hal ini juga merupakan momen penting untuk berpartisipasi maksimal dengan cara yaitu rakyat menyatakan setuju kepada seorang calon dan mengatakan tidak kepada calon yang dianggap tidak kompeten, semua ini berada dalam rangka kecenderungan pada kebenaran, menyeru pada kebaikan, dan juga mencegah dari kemungkaran.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suasana pemilu memberikan lebih banyak kesempatan untuk belajar dan hak berpendapat dalam politik, yang juga menjadi sumber kehidupan dan kesinambungan kebaikan serta pencegahan dari keburukan. Oleh karena itu, suara rakyat adalah sah dalam pemerintahan serta sistem politik religius dan Islami, dan sama sekali tidak bermakna bahwa dalam pembentukan pemerintahan rakyat tidak memiliki peran yang signifikan.

Namun tentunya hal ini tetap menyisakan pertanyaan apakah itu berarti akan bermakna bahwa mayoritas selalu menjadi kriteria untuk mengidentifikasi yang benar dan yang salah? Dapatkah ditentukan bahwa mayoritas rakyat selalu berada di jalan yang benar dan berpihak pada kebenaran? Dalam banyak kasus, Al-Qur’an memuji dan mengeluhkan tentang sebagian besar kaum dan mengutuk mereka karena lari dari kebenaran dan menentang para nabi dan wali Allah.

Dalam surat Al- An’am ayat 116: Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Demikian pula dalam Surah A’raf, dikatakan: tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Menurut fakta sejarah dalam Al-Qur’an, orang-orang yang awalnya beriman kepada para Nabi kebanyakan terjebak dalam keterpurukan demikian pada berbagai perkara serta mayoritas dari mereka tidak mengikuti jalan Nabi mereka, sehingga dalam perjalanan terkulai lemah serta mengalami guncangan keterpurukan keyakinan dan tindakan.

Baca Juga  DPRD Baru Majene, Pemuda Harapkan Sikap Kritis dan Fungsi Pengawasan Lebih Efektif

Al-Qur’an pada surah Al-Baqarah ayat 249 mencontohkannya seperti para sahabat Thalut yang kebanyakan dari mereka meminum air sungai yang telah dilarang. Umat Islam yang juga merupakan umat yang pernah mengalami kejayaan, sayangnya terjebak dalam perkara mayoritas dan minoritas setelah wafatnya Nabi SAW, sementara Ahl al-Haq (orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual dan integritas kepemimpinan) serta para pengikut mereka berada dalam kondisi dikelilingi mayoritas oposisi dan ataupun orang-orang yang diam.

Oleh karena itu, sekali lagi hal ini menandakan dan menyisakan persoalan tentang pendapat mayoritas rakyat sebagai kriteria untuk mengidentifikasi kebenaran. Inilah salah satu perbedaan penting yang memisahkan sistem dan demokrasi religius dari sistem demokrasi ala Barat.

Oleh karena itu, dapat dikata suara terbanyak boleh jadi belumlah dapat menjadi tolak ukur sempurna untuk membedakan yang benar dan yang salah, akan tetapi keadaannya adalah untuk mewujudkan dan melaksanakan serta mengawasi kinerja para pemangku jabatan dan dalam rangka menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran dll, tetap diperlukan adanya dukungan maksimal dari rakyat.

Dari sudut pandang ini, demokrasi dan pemilu merupakan kesempatan untuk menghimpun dan memaksimalkan penerapan akan sesuatu yang haq agar iradah Ilahiah terwujudkan. Untuk itu, umumnya para pembaharu politik dalam Islam juga mengusulkan demokrasi dan pemilu yang berkaitan dengan pemerintahan yang religius dan menyambut baik partisipasi masyarakat yang sebesar-besarnya.

 

(Penulis : Miswar)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan